Film ini wajib ditonton setiap orang Indonesia.
Film ini menunjukkan siapa dan apa itu Indonesia.
Tidak ada yang perlu ditutupi.
silakan mendownload
Film ini menunjukkan siapa dan apa itu Indonesia.
Tidak ada yang perlu ditutupi.
silakan mendownload
Berikut ini review film Jagal oleh Soe Tjen Marching
(Versi bahasa Indonesia
dari artikel saya "The Banality of Mass Murder" yang dimuat di The
Jakarta Globe (http://www.thejakartaglobe.com/opinion/coming-to-grips-with-the-banality-of-mass-murder-in-indonesias-past/)
"Perbuatan yang
sadis dan mengerikan,tapi pelakunya. . . terlihat “normal”, biasa, dan tidak
seperti setan ataupunmenyeramkan ", tulis Hannah Arendt dalam
bukunya The Life of Mind -Thinking - Willing (1978).
Yang merujuk pada Adolf Eichmann, salah satu anak buah Hitler dan dalang
terbunuhnya jutaan orang Yahudi.
Arendt berpendapat bahwa
Eichmann tidak mampu berpikir secara mandiri. Sebuah ketidaksadaran yang
mengantarnya, karena kejahatan itu telah menyamar dengan begitu mahir sehingga
sang pelaku tidak mampu mengenali betapa kejam perbuatannya. Dan ketidaksadaran
inilah yang membuat Eichmann mampu melakukan tindakan seperti
"monster". Karena ia tidak sungguh-sungguh tahu apa yang ia
perbuat. Ia telah tertipu untuk mempercayai bahwa kejahatan yang
dilakukan adalah sebuah kepahlawanan.
Tampaknya, ini yang kita
temui dalam The Act of Killing, sebuah film dokumenter tentang
pembunuhan masal 1965-1966 di Indonesia, oleh Joshua Oppenheimer, seorang
sutradara film Amerika yang tinggal di Kopenhagen. Di sini, kita bisa
bertemu Anwar Congo, seorang kakek yang penuh kasih yang meminta cucunya untuk
tidak menyakiti anak itik, dan pahlawan nasional. Jangan bandingkan dia dengan
Rambo – otot si Anwar sama sekali tidak ada yang segagah itu. Anwar
bahkan agak lembut dan kurus. Kadang-kadang, ia juga tampak pasrah dibandingkan
dengan teman dekatnya, Herman Koto. Tapi dia juga mendeklarasikan telah
membunuh ribuan orang dengan berbagai cara, termasuk menyiksa mereka
perlahan-lahan dengan cara mengerikan, menggorok leher atau mencekik mangsanya.
Dengan bangganya, Anwar
mengecap tentang apa yang telah ia lakukan sebagai tindakan heroik. Para jagal
yang sempat ditemui oleh Joshua Oppenheimer, dengan gembiranya berkoar tentang
pembunuhan yang dilakukan mereka. Salah satunya berbicara dengan
santainya di depan kamera bagaimana dia sudah memperkosa ratusan
perempuan: "Yang enak itu yang umurnya 14 dan 15 tahun. Masih ranum!"
Para jagal ini bahkan
terlibat dalam kompetisi berani-beranian. Ini bukan sekedar adu jangkrik,
tapi adu kekejaman dalam salah satu pembunuhan massal terbesar dalam sejarah,
di mana banyak manusia disiksa dengan keji, dan jutaan orang lain ditahan tanpa
diadili. Mereka merayakan kekejaman itu bersama. Beberapa jagal
mengklaim bahwa mereka tahu"kebenaran" dan bahwa sejarah ini harus
diungkap, sehingga para pemuda tidak melupakan masa lalu.
"Kebenaran" bagi mereka adalah fitnah berkelanjutan dan
pencemaran nama baik orang-orang yang telah dituduh komunis, beserta keluarga
dan bahkan keturunannya.
Reaksi mereka mulai
berbeda ketika menyadari bahwa orang yang mereka bunuh adalah manusia biasa,
bukan hanya obyek yang bisa dimusnahkan begitu saja. Reka ulang peristiwa 1965
(dengan make up untuk menunjukkan kebrutalan, boneka, api dan kawat) telah
membuat mereka sadar bahwa korban-korban mereka telah mengalami trauma dan
penderitaan yang luar biasa. Pembalikan peran memiliki dampak besar pada
Anwar Congo, yang sempat memerankan korbannya.
Film ini telah membuat
fiksi menjadi "nyata" bagi para pembunuh ini, padahal sebelumnya,
kenyataan hanyalah semacam fiksi bagi mereka: pembunuhan massal yang
dilakukannya, kata Anwar Kongo, adalah semacam manifestasi dari imajinasinya
tentang film-film gangster. Tapi apakah mereka benar-benar tidak menyadari apa
yang telah mereka lakukan? Apakah memang mereka begitu lugunya, sehingga tidak
mengenali kejahatan mereka sendiri? Apakah hanya ketidaksadaran mereka
akan kejahatan ini yang mendorong mereka mampu melakukan penjagalan yang luar
biasa?
Seorang jagal, Adi,
tampaknya lebih sadar dari Anwar Kongo dan para pelaku lainnya dalam film ini.
Dia mengatakan: "Kami sebenarnya lebih kejam daripada komunis".
Juga ketika ia memancing ikan bersama Kongo, Adi menyatakan bahwa dia
sadar pemerintahan Orde Baru telah menyelewengkan sejarah pembunuhan massal.
Adi adalah sebuah "harapan" bagi saya, saat ia menyatakan:
"Kalau kita sukses dengan film ini, seluruh sejarah akan terbalik. . .
Keyakinan saya selama ini tidak benar: bukan PKI yang kejam. Kita yang
kejam".
Tapi tidak! Kemudian, ia
menegaskan bahwa ia sama sekali tidak menyesal atas apa yang telah dilakukannya
– dipaparkan bermacam pembunuhan mengerikan yang telah dilakukan, sambil
melenggang di sebuah mall bersama anak dan istrinya. Dalam mobil bersama
Joshua, ia berkoar dengan angkuhnya: "Definisi-definisi kejahatan perang
itu buatan pemenang. Saya pemenang, jadi saya mesti juga membikin definisi
kejahatan perang!”
Kamera Oppenheimer
menunjukkan gambaran berbeda ketika Adi duduk bersama istri dan anaknya, namun
juga terpisah dari mereka karena ia tenggelam dalam pikirannya sendiri dengan
kerut yang dalam di dahinya (apakah ia diam-diam mempertanyakan perbuatannya?).
Adalah Anwar Congo yang
kemudian menunjukkan penyesalan. Dia bahkan muntah-muntah di salah satu lokasi
di mana ia menghabisi berbagai manusia. Film yang mampu merasuk dengan
cukup menakjubkan ke dalam pikiran para jagal. Oppenheimer mengakui, bahwa ia
mendapatkan kepercayaan dari mereka karena dia seorang Amerika, dan karena
Amerika mendukung pembunuhan massal di 1965-1966: "Mereka mencintai film
Amerika dan Amerika. . . Ketika saya tiba, mereka langsung menduga 'Oh, orang
ini pasti berada di pihak kami' ".
Hal ini menyebabkan saya
mempertanyakan apakah keluguan mereka sebenarnya begitu sederhana. Apakah
mereka benar-benar telah tertipu untuk melakukan pembunuhan massal itu?
Apakah mereka semua benar-benar begitu lugu? Apakah kewajaran pembunuhan
massal dan / atau kejahatan yang diutarakan oleh mereka, sebenarnya hanyalah
bagian dari representasi saja? Para jagal ini mungkin merasa nyaman
menunjukkan ketidaksadaran dan keluguan mereka atas kejahatan yang mereka
perbuat di depan “sekutu”. Karena kemudian, Anwar Congo menunjukkan penyesalan
saat ia mulai sadar akan niat Oppenheimer. Apakah Kongo sebelumnya benar-benar
tidak menyadari? Atau apakah kesadaran Congo akan sikap politik Oppenheimer
telah mengambil bagian dalam “penampilannya” menunjukkan penyesalan atas
kejahatan yang telah dia lakukan? Karena bagaimanapun juga, kita menampilkan
diri dan merepresentasikan diri kita berbeda di hadapan orang yang berbeda
pula.
Mungkin, kita tidak
pernah tahu jawabanyang pasti untuk semua pertanyaan ini. Tapi dedikasi
Oppenheimer telah menggiring nuansa-nuansa dan kompleksitas yang luar biasa.
Sepuluh tahun dihabiskannya untuk membuat sebuah film dokumenter, dengan
beberapa kru Indonesia yang hanya bisa ditampilkan dengan "anonim",
karena kekuatiran akan keselamatan mereka.
"Ini adalah hadiah
saya untuk Indonesia," kata Oppenheimer. Sebuah hadiah yang tidak
saja indah dan mendalam, namun juga sangat menyentuh. Film yang akan saya
kenang entah hingga kapan.
