Mengapa Harga Dinaikkan Kalau Pembelinya Orang Papua?

Illustrasi orang Papua membeli dari sketch Epenkah Cupen Toh!
"Pace ini Laptop baru, ada fitur kameranya, murah saja" begitu banyak suara penjual yang menawarkan dagangannya. Pada waktu itu belanja online belum begitu ngetrend tapi paling tidak saya punya pengalaman beli barang online dengan COD melalui Kaskus.com karena saya agak trauma belanja langsung ke toko yang seringkali menaikan harga ketika saya yang mau beli.

Tetapi karena kawan meminta untuk mengantarnya langsung ke toko jadi saya antarlah saja. Jadi sebelum ke salah satu tempat jual laptop di Jakarta Timur, saya sudah survey harga dulu di tokopedia sesuai budget kawan saya yang hendak membeli laptop baru.

Gila juga, harga yang di tokopedia Rp. 5.300.000,00, tetapi di toko memberikan harga Rp. 6.300.000,00, terus mereka bilang "pace kalau mau beli saya kasi turun harga menjadi Rp. 5.900.000".Melayan sudah 600.000.

" Ah sudahlah, kita beli online saja!", kita meninggalkan toko tersebut langsung saja ke tempat makan dan beli di toko online saja karena semua penjual memberikan kesan menaikkan harga yang sama bagi kami.

Mengapa toko online, ya tentu karena penjual di toko online tidak tahu kalau kita ini orang Papua ehhehehe. Terrnyata memang pada umumnya harga di naikkan ketika calon pembelinya orang Papua.

Miris juga, masa provinsi termiskin di Indonesia, tetapi diberikan harga mahal di ibu kota negara. Bukankah harusnya mereka berempati kepada orang-orang dari provinsi termiskin dan memberikan harga semurah-murahnya.

Mengapa Harga Dinaikkan Kalau Pembelinya Orang Papua?

Ternyata penjual tidak berpikir sampai ke situ, mereka tidak memikirkan kemiskinan provinsi Papua, atau pun rasis, bahkan mereka tidak berpikir dan tidak tahu seberapa miskin atau kayanya kita.

Malcolm Gladwell dalam buku bestseller-nya "blink, Kemampuan Berpikir Tanpa Berpikir" menjawab pertanyaan ini.

Tahun 1990, seorang guru besar ilmu hukum di Chicago bernama Ian Ayres menyelenggarakan eksperimen sosial luar biasa. Ayres membentuk tim berjumlah tiga puluh delapan orang - delapan belas laki-laki kulit putih, tujuh perempuan kulit putih, delapan perempuan kulit hitam, dan lima laki-laki kulit hitam. Ayres berusaha supaya mereka memiliki kesamaan dalam banyak hal. Semuanya berusia pertengahan dua puluhan. Semua sama-sama menarik. Semua diperintahakn mengenakan busana santai namun tetap konservatif; perempuan mengenakan blus, rok sepan, dan sepatu tumit rendah; laki-laki mengenakan kemeja polo atau kemeja berkancing sampai ke bawah, celana, dan sepatu santai beralas rata.

Semua diberi cover story yang sama. Mereka ditugasi mendatangi tempat-tempat penjualan mobil yang seluruhnya berjumlah 242 buah di wilayah Chicago dan memperkenalkan diri sebagai profesional muda berpendidikan tinggi (misalnya bekerja sebagai systems analyst di sebuah bank), tinggal di hunial kelas atas Chicago di wilayah Streeterville.
Illustrasi ; orang kulit hitam membeli mobil (thyblackman.com)
Perintah yang harus dijalani lebih spesifik lagi. Mereka harus berjalan masuk dan menunggu sampai didekati oleh seorang penjual. " Saya tertarik untuk membeli mobil ini," kata mereka, sambil menunjuk mobil paling murah di ruang pamer yang bersangkutan. Kemudian, sesudah mendengarkan penawaran awal sang penjual, mereka diperintahkan menawar habis-habisan sampai sang penjual entah menerima sebuah tawaran atau menolak tawar-menawar lebih lanjut-sebuah proses yang umumnya memakan waktu kira-kira empat puluh menit.

Yang dicoba diperbuat oleh Ayres adalah mencermati sebuah pertanyaan yang sangat spesifik; Jika semua yang lain betul-betul sama, bagaimana warna kulit atau gender mempengaruhi harga yang ditawarkan oleh seorang di keagenan mobil?

Hasilnya mengejutkan. Laki-laki kulit putih menerima penawaran awal dari penjual seharga 725 dolar lebih tinggi dari faktur agen (yakni, harga yang harus disetorkan oleh agen kepada pabrik). Perempuan kulit putih menerima penawaran awal 935 dolar di atas faktur. Perempuan kulit hitam diberi harga penawaran, rata-rata 1.195 di atas faktur. Dan laki-laki kulit hitam?

Penawaran awal yang diberikan kepada mereka adalah 1.687 dolar di atas faktur. Bahkan sesudah empat puluh menit tawar-menawar, harga hanya turun sampai1 1.551 dolar di atas faktur. Sesudah tawar menawar yang  sangat lama, laki-laki kulit  hitam dalam eksperimen Ayres hanya memperoleh harga yang hampir 800 dolar lebih tinggi dari pada harga untuk laki-laki kulit putih tanpa berkata apa-apa.

Apa penyebab semua ini? Apakah penjual mobil dari Chicago merendahkan perempuan dan berprasangka buruk pada orang kulit hitam?  Tentu itulah penjelasan paling ekstream untuk semua yang terjadi. Dalam bisnis penjualan mobil, apabila Anda dapat meyakinkan seseorang untuk membayar sticker price (harga yang dipasang pada mobik di ruang pamer), dan apabila Anda dapat meminta mereka mengambil paket premium secara penuh, dengan jok kulit dan sistem tata suara serta pelek aluminium, komisi yang akan Anda terima sama saja entah Anda berhadapan dengan orang yang mudah terbujuk atau dari banyak orang lain yang siap adu otot agar mendapatkan harga lebih murah. Dengan kata lain, jika Anda seorang penjual, besar sekali godaan untuk mencoba mendeteksi orang gampangan.  Penjual mobil di Amerika bahkan sampai mempunyai istilah khusus untuk calon pembeli yang bersedia membayar sticker price. Mereka disebut lay-down. Salah satu penafsiran yang didapat dari penelitian Ayres adalah bahwa penjual mobil ini terbiasa praduga bahwa perempuan dan orang kulit hitam sebagai lay-down. Maka begitu melihat seseorang yang bukan laki-laki kulit putih, pikiran yang terlintas adalah, " Aha! ini orang bodoh dan naif yang bisa membuat aku lekas kaya."

Sebagaimana pun, penjelasan ini tidak banyak artinya. Para pembeli mobil Ayres baik yang berkulit hitam maupun perempuan memberi isyarat yang jelas sekali bahwa mereka tidak bodoh dan naif. Mereka para profeisonal produk perguruan tinggi. Mereka mempunyai pekerjaan di kelas atas. Mereka tinggal di lingkungan orang kaya. Mereka tampil dengan busana orang sukses. Mereka tidak keberatan kalau harus tawar-menawar sampai empat puluh menit. Adakah diantara semua fakta ini yang menunjukkan bahwa mereka orang yang mudah terbujuk?

Para penjual ini pastilah mempunyai komitmen yang kuat dan sadar tentang persamaan gender dan ras, dan kalau ditanya, mereka barangkali akan bersikeras menjawab bahwa mereka mengajukan penawaran berdasarkan pembacaan yang cermat sekali atas karakter para calon pembeli mereka.Akan tetapi keputusan yang mereka buat dalam sekilas begitu seorang calon pembeli melewati ambang pintu bisa berbeda. Ini disebut reaksi bahwa sadar. Pikiran bahwa sadar ini diam-diam mengambil fakta paling mudah dilihat dari calon pembeli-jenis kelamin dan warna kulit-kemudia langsung memasukkannya dalam kesimpulan kendati sesungguhnyamasih fakta lain yang boleh jadi perlawanan.

Reaksi-reaksi bahwa sadar kita berasal dari sebuah ruangan yang terkunci, dan kita tidak dapat melihat ke ruangan itu. Namun melalui pengalaman, kita menjadi pakar dalam mengunakan perilaku dan pelatihan kita untuk menafsirkan- dan mengurai- sandi-sandi yang terdapat dalam kesimpulan sekejap (snap judgement) serta kesan pertama (first impression).

Inilah kesalahan fatal,

Barangkali bentuk pemahaman cepat (rapid conginition) yang paling lazim-dan paling penting- adalah ketika kita mendapatkan kesan atau membuat kesimpulan tentang orang lain. Selama kita dalam keadaan terjaga dan sedang bersama seseorang, entah sadar atau tidak kita terus tergoda untuk membuat ramalan-ramalan dan kesimpulan-kesimpulan tentang apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang itu. Kebiasaan menyimpulkan tujuan dan maksud orang lain merupakan contoh klasik cuplikan tipis.

Mereka tidak lagi mengandalkan bukti aktual indera mereka tetapi jatuh ke dalam sistem stereotyping (penyamarataan) yang kaku dan tak bisa ditawar.

"Ketika harus membuat keputusan dalam sepersekian detik," kata Payne, " kita sungguh rentan terhadap pengaruh prasangka dan stereotyping, bahkan meskipun kita sendiri tidak memercayai atau menganut prasangka dan stereotyping, bahkan meskipun kita sendiri tidak mempercayai atau menganut prasangka dan stereotyping itu."

Inilah "blink", dua detik pertama yang sangat menentukan ketika kita mengamati sesuatu--dua detik yang akan memberikan pemahaman dalam sekejap mata, yang terbentuk berkat pilihan-pilihan yang muncul dari "komputer internal" kita, alias kemampuan bawah sadar kita. Kemampuan inilah yang oleh Malcolm Gladwell disebut 'kemampuan berpikir tanpa berpikir" dimana keputusan sekejap bisa didapat dari informasi yang sedikit namun akurat melalui snap judgement dan thin slicing (cuplikan tipis)
Buku blink
Ya, saya tidak akan bahas panjang lebar. Anda bisa membeli bukunya untuk memahami blink.

Jadi kenaikan harga yang diberikan kepada orang Papua semata adalah keputusan bawah sadar penjual yang sudah terekam dan berjalan secara autopilot atau tanpa kendali sadar dari penjual. Stereotype bahwa orang Papua akan membeli seberapa pun harga yang diberikan penjual terbentuk dan menjadi rahasia umum dikalangan penjual. Stereotype ini terbentuk dikala permulaan orang-orang Papua mula-mula yang berdatangan membeli tanpa tawar menawar, mereka tentunya pejabat-pejabat Papua pada masa Orde Baru. Namun sayangnya stereotype itu diberikan bukan pada pejabat Papua tetapi pada keseluruhan orang Papua.

Stereotype inilah yang menjalankan proses blink yang melahirkan keputusan penawaran harga tinggi kepada orang Papua.

Lalu bagaimana kita menyikapinya?

Menurut pengalaman, biasakan survey dulu harga pasaran di online supaya kita bisa mendapatkan penjual yang memberikan harga masuk akal. Kedua, belajarlah tawar menawar, barangkali ini bisa secara perlahan mengubah stereotype. Dan yang terakhir tentunya belanja online saja.

Sekedar tambahan saja, blink adalah buku yang fenomenal, memahami proses blink dan belajar membuat blink bekerja untuk mendatangkan sukses bagi kita menjadi satuhal yang dijelaskan dalam buku ini. Saya sangat merekomendasikan buku ini. 

Post a Comment

Previous Post Next Post