OPM Dan TNI POLRI Wajib Melindungi Rakyat Papua (Hukum Humaniter)

Tanggal 18 Januari di bandara Pogapa, Homeyo, Intan Jaya. (IST - SP)
TNI POLRI memiliki kewajiban mempertahankan kedaulatan negara Republik Indonesia, sementara OPM adalah organisasi militan Papua yang memperjuangkan Papua lepas dari bingkai NKRI. Tentu saja kedua pihak tersebut ibarat api dan air, mereka memiliki fungsi yang bertolak belakang. 

Sejak Papua dimasukkan sebagai salah satu provinsi Indonesia setelah proses Pepera 1969 yang membubarkan negara Papua Barat. Baca Tulisan Tirto.Id (Sejarah Pepera 1969: Upaya Lancung RI Merebut Papua?



Sejak saat itu sampai sekarang sudah banyak korban berjatuan dari kedua pihak, namun yang menjadi persoalan adalah ada banyak korban warga sipil Papua. 

"Yang masuk kategori (pelanggaran) HAM berat, yaitu kasus Wasior (2001) dan Wamena (2003), kasus Paniai (Desember 2014), dan masih usulan tapi belum disepakati betul yaitu kasus Biak berdarah (Juli 1998). Empat kasus ini yang kami tangani," kata Imdadun setelah rapat di kantor Menkopolhukam.  (baca lengkap BBC : Janji penyelesaian 11 pelanggaran HAM di Papua)

Menurut Wikipedia, Hukum kemanusiaan internasional, hukum humaniter internasional (HHI), yang sering kali juga disebut sebagai hukum konflik bersenjata (bahasa Inggris: international humanitarian law), adalah batang tubuh hukum yang mencakup Konvensi Jenewa dan Konvensi Den Haag beserta perjanjian-perjanjian, yurisprudensi, dan hukum kebiasaan internasional yang mengikutinya. HHI menetapkan perilaku dan tanggung jawab negara-negara yang berperang, negara-negara netral, dan individu-individu yang terlibat peperangan, yaitu terhadap satu sama lain dan terhadap orang-orang yang dilindungi, biasanya berarti orang sipil.
HHI adalah wajib bagi negara yang terikat oleh perjanjian-perjanjian yang relevan dalam hukum tersebut. Ada juga sejumlah aturan perang tak tertulis yang merupakan kebiasaan, yang banyak di antaranya dieksplorasi dalam Pengadilan Perang Nuremberg. Dalam pengertian yang diperluas, aturan-aturan tak tertulis ini juga menetapkan sejumlah hak permisif serta sejumlah larangan perilaku bagi negara-negara yang berperang bila mereka berurusan dengan pasukan yang tidak reguler atau dengan pihak non-penandatangan. Pelanggaran hukum kemanusiaan internasional disebut kejahatan perang.
Kerangka hukum ini dapat diartikan sebagai prinsip dan peraturan yang memberi batasan terhadap penggunaan kekerasan pada saat pertikaian bersenjata. Tujuannya adalah:
  • Memberi perlindungan pada seseorang yang tidak, atau tidak lagi, terlibat secara langsung dalam pertikaian orang yang terluka, terdampar, tawanan perang dan penduduk sipil;
  • Membatasi dampak kekerasan dalam pertempuran demi mencapai tujuan perang.Sumber
Intinya adalah kedua bela pihak tidak boleh asal tembak, atau membuat kesalahan yang mengakibatkan warga sipil menjadi korban. Namun, sayang seribu sayang, kejadian setahun terkakhir di Nduga Papua menjadi catatan buruk untuk penegakan hukum humaniter dalam proses pengejaran OPM oleh Militer Indonesia.

Dikutip dari CNNINDONESIA, Dari hasil Investigasi yang dilakukan lembaga bentukan Bupati Nduga ini, jumlah korban meninggal yang ditemukan hingga saat ini sebanyak 182 orang. Sebarannya berada di beberapa distrik seperti Mbua, Dal, Mbulmuyalma, Mugi, Yigi fan Nirkuri, hingga Mapenduma.



Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem memastikan data 182 korban ini telah diverifikasi pihaknya yang secara langsung dengan memasuki kawasan Nduga sejak terjadi konflik sebanyak tiga kali. (Baca selengkapnya : Tim Kemanusiaan : Konfilk Nduga Renggut 182 Korban Jiwa)

Sementara itu pelaku atau OPM atau sekarang sering disebut KKB pimpinan Egyanus Kogoya masih dalam pengejar sampai bulan januari tahun 2020 ini. (Baca Beritasatu.com : Tim gabungan Polri Kejar Egianus Kogoya)
Aparat gabungan memburu Egianus Kogoya yang licin bak belut. Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) itu sudah dikejar sejak 2 Desember 2018 silam saat mereka membantai karyawan PT Istaka Karya.

Orang Papua juga adalah warga negara Republik Indonesia yang berhak mendapatkan pengayoman dan perlindungan TNI POLRI, jika tindakan Egianus Kogoya dkk dibalaskan kepada orang Papua Nduga warga sipil semata karena Egianus Kogoya adalah orang Papua, ini adalah sebuah kekeliruan dan melanggar hukum humaniter. TNI POLRI harus berhati-hati agar warga sipil jangan menjadi korban. 

Sejak tanggal 14 desember 2019, telah dilakukan pendropan aparat di Sugapa kabupaten Intan Jaya. ( Baca Suarapapua.com : Pendropan Aparat Di Intan Jaya 14-16 Desember 2019) disusul Pogapa pada 18-20 Januari 2020. Pendropan ini dilakukan untuk mengejar OPM di wilayah Intan Jaya.

Entah OPM maupun TNI POLRI diharapkan mengingat hukum humaniter supaya kesalahan di Nduga tidak terulang di Intan Jaya. Warga sipil wajib dilindugi kedua pihak.

Post a Comment

Previous Post Next Post