Mengasah Bakat, Mendaki Gunung Munilogo

Gunung Munilogo di Intan Jaya

Sekian lama di Jakarta, bertemu, bergaul dari kawan kawan yang berasal dari seluruh Indonesia, saling mengenal kelebihan maupun kekurangan, semua itu membawa pikiran ini kepada satu kesimpulan bahwa kami masih dilembah.

Kunci dari sebuah kemajuan adalah si Jaeni harus berjalan kaki dari lembah Kemandoga naik lebih tinggi menuju puncak gunung Munilogo. Tetapi tentunya dengan berbagai penderitaan seperti menahan lapar dàn haus dan kecapean otot kaki untuk berusaha mendaki gunung yang terjal.

Di punjak gunung Munilogo itu ada sebuah jaminan, jaminan bahwa bila ia sampai di punjak dalam waktu semalam maka ia akan diberikan air oleh penjaga gunung tersebut. Katanya setiap orang yang mencuci tangan dengan air tersebut, apapun yang disentuh tangannya bila dikehendakinya akan berubah menjadi emas.

Orang-orang yang sudah mencuci tangan di puncak gunung Munilogo ini tidak mendapat kesulitan karena mereka mendapat kekuatan untuk mengubah apapun yang diinginkannya untuk berubah menjadi emas sehingga mereka menjadi kaya, makmur, bahagia dan sukses dalam setiap bagian kehidupan mereka.

Tetapi karena sulitnya mencapai puncak, hanya segelintir saja yang sampe, kisah air itu seolah hanya menjadi mitos dan banyak orang sudah tak peduli dengannya karena kurangnya orang berpengalaman, mereka lebih memilih hidup dalam penderitaan kemiskinan dan keterbelakang dari pada penderitaan sementara untuk mendaki gunung itu.

Sekolah, gereja atau di rumah, kita mendapatkan pendidikan apa adanya, tetapi barangsiapa mencapai hikmat, dengan hikmat itu ia mampu mengubah apapun menjadi emas. Hikmat itu seperti permainan petak umpet, dia bersembunyi dibalik segala sesuatu sehingga harus dicari untuk didapatkan. Tak ada yang tahu pasti kapan tetapnya kita menjadi mendapatkannya.

Lalu kaitannya dengan bakat apa?

Banyak bakat yang ada dalam darah orang Papua, mengalir tetapi tak diolah akhirnya bakat itu pudar atau kalah jauh dengan orang luar sana yang mengasahnya setiap hari.

Kita harus berkorban untuk mendapatkan hikmat karena dengan hikmatlah si bakat akan diubah menjadi emas. Banyak bakat yang mati dalam diri orang Papua hanya karena tak ada hikmat yang menyertai.

Sebenarnya hikmat bekerja dalam semua aspek dalam kehidupan kita, hikmat ini sebuah senjata ampuh. Barangsiapa memilikinya ia berpotensi menang secara sadar atau sengaja. Banyak kemenangan yang terjadi karena keberuntungan, tetapi dengan hikmat kemenangan bisa dirancang.

Sebenarnya dibutuhkan keterlibatan banyak pihak untuk membawa potensi bakat manusia Papua pada perkembangan, tetapi tidak bisa kita menanti faktor eksternal. Jika Anda memiliki bakat bernyanyi, silakan dikembangkan, atau bakat sepak bola silakan dikembangkan.

Banyak bakat terkait dengan latihan badani, misalnya bernyanyi, ini terkait dengan pita suara, bakat sepak bola berarti tubuh yang terutama kaki. Tetapi benar bahwa Paulus pernah menulis bahwa latihan badani terbatas gunanya, jadi sebenarnya bukan selalu persoalan tidak adanya perkembangan bakat, tetapi tidak disertai dengan hikmat yang memadai.

Bakat ibarat benda, dan bila benda itu disentuh dengan hikmat maka bakat itu akan menjadi emas. 

Seperti yang sudah ditulis di awal bahwa hikmat berpengaruh diseluruh bagian kehidupan, jika pemerintahan disentuh dengan hikmat maka ada perubahan, jika gereja di sentuh dengan hikmat maka ada pertumbuhan. Jika kebun disentuh dengan hikmat, kebun akan subur dan terkelola dengan baik. Begitu seterusnya dalam segala hal.

Jadi, yang terjadi sekarang di Papua adalah krisis hikmat. Kita berdoa saja semoga datang waktunya orang orang berhikmat banyak lahir di Papua.

Post a Comment

Previous Post Next Post