Aksi-aksi perjuangan
pemisahan diri tidak pernah habis di bumi Cendrawasih, sejak PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) pada
tahun 1969 silam. PEPERA yang merupakan sebuah referendum rakyat Papua dengan
pilihan bergabung dengan Indonesia atau berdiri sendiri sebagai sebuah negara
berakhir dengan kemenangan pemilih Indonesia. Tidak semua rakyat Papua terlibat
referendum tersebut.
Berikut ini sekilas
tentang PEPERA yang dikutip dari “PEPERA
1969 (ACT OF FREE CHOICE) DAN KONSEKUENSI POLITIK BAGI NKRI SAAT INI oleh:
Raimondus Arwalembun, S.S”, (klik disiniuntuk membaca full)
Pada saat itu, penduduk Irian diperkirakan berjumlah 800.000
jiwa, maka setiap 750 jiwa memiliki 1 wakil dalam Dewan Musyawarah Pepera
tersebut. Berikut jumlah anggota Dewan Musyawarah Pepera dari tiap-tiap
Kabupaten:
- Kabupaten Jayapura: Jumlah
penduduk 81.246 jiwa – jumlah wakil 110;
- Kabupaten Teluk Cenderawasih:
Jumlah penduduk 93.230 – jumlah wakil 130;
- Kabupaten Manokwari: Jumlah
penduduk 53.290 – jumlah wakil 75;
- Kabupaten Sorong: Jumlah penduduk
86.840 – jumlah wakil 110;
- Kabupaten Fakfak: Jumlah
penduduk 38.917 – jumlah wakil 75;
- Kabupaten merauke: Jumlah
penduduk 141.373 – jumlah wakil 175;
- Kabupaten Paniai: Jumlah
penduduk 156.000 – jumlah wakil 175;
- Kabupaten Jayawijaya: Jumlah penduduk 165.000 – jumlah wakil 175.
Dari perwakilan di atas maka didapatlah 1025 orang Anggota
Dewan Musyawarah Pepera yang akan ikut menentukan nasib Irian Barat dalam
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Setelah DMP dibentuk, maka DMP kemudian
mengadakan musyawarah untuk menentukan pilihan, apakah akan bergabung bersama
indonesia atau ingin memisahkan diri dari Indonesia.
Hasilnya Pepera yang dilangsungkan di 8 (delapan) Kabupaten
tersebut, semuanya memilih dan menetapkan dengan suara bulat bahwa Irian Barat
merupakan bagian mutlak dari Republik Indonesia. Hasil tersebut disepakati dan
disetujui dengan membubuhkan tanda tangan semua yang hadir dalam rapat Pepera
tersebut. Hasil Pepera ini diumumkan pada tanggal 2 Agustus 1969 dan
selanjutnya pada tanggal 8 Agustus 1969 Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Amir
Machmud selaku Ketua Pelaksana Pepera melaporkan kepada Presiden. Lalu pada
tanggal 16 Agustus 1969, Presiden menyampaikan sebagai laporan
pertanggungjawaban tahunan di depan sidang MPR.
Melihat tata cara pelaksanaannya saja sudah menjadi pertanyaan
di kepala kita semua, apakah layak sebuah referendum penentuan nasib sebuah bangsa
dilakukan dengan diwakili oleh segelintir orang. Banyak pihak yang tidak
dilibatkan kala itu, bahkan banyak kepala suku pun tidak mengetahui akan hal
itu.
Masyarakat Papua mulai kaget dari tidurnya setelah melihat
banjir penduduk dari pulau Jawa yang datang dengan menerapkan suatu pemerintahan
yang sama sekali tidak dipahami mereka.
Dengan proses berjalannya waktu, masyarakat Papua mulai
sadar akan apa yang sedang terjadi. Dari kesadaran itu lahirlah gerakan-gerakan
pemisahan diri yang sampai sekarang ini beranggotakan sebagian besar orang-orang
Papua.
Paksaan menjadi Indonesia. Paksaan adalah virus yang tidak
akan terobati. Gerakan Papua merdeka tidak akan hilang dari jiwa orang Papua karena bergabung Indonesia bukanlah pilihan mereka, bukan juga pilihan kakek
nenek mereka.
Apa yang seharusnya dilakukan Indonesia agar gerakan
pemisahan diri dapat terhapus dari bumi Papua adalah membuat bergabungnya Papua
ke Indonesia sebagai pilihan orang Papua sendiri. Indonesia tidak boleh
merekayasa pilihan orang Papua dengan media dan sejarah palsu. Satu-satunya solusi
adalah mengubah system politik militer di Papua dan referendum ulang dengan melibatkan
seluruh orang Papua sebagai pemilih-pemilih yang sah.
Jika semua orang Papua bahagia dan memilih bergabung dengan
Indonesia, maka masa depan Indonesia akan lebih cerah dan tentunya takkan ada lagi
gerakan-gerakan PEMISAHAN DIRI di bumi Papua. Jika sebaliknya, Indonesia harus merelahkan Papua seperti NKRI merelahkan Timor Leste berdiri sendiri sebagai sebuah negara.
Jangan dipaksa!
